Aku daun
Terlihat membisu, diam tak berarti
Namun didiam-bisuku itu
Seonggok bunga bermekaran
Aku bukan halilintar
Datang menggebu-gebu
Namun hilang tak meyisakan apapun
Aku daun yang berarti dan tidak bisu
Namaku Daun, hijau segar tubuhku tanda pohonku sedang bersemi. Hidup “daun”ku ini kuhabiskan dengan bergantung pada pohon (rumah) besarku ini bersama “daun” lainnya. Disini semuanya terlihat indah. Aku berada di ujung ranting teratas rumahku ini. Keramaian manusia di seberang sungai dekat rumahku terlihat jelas dengan wajah-wajah “suram” mereka.
Hari-hari ku lalui sambil menari-nari bersama angin. Ia selalu membelai dan membujuk tiap bagian tubuhku untuk menari dan tak-tau-kenapa aku menurut saja padahal rupa ataupun suaranya saja tidak ada. Dasar angin. Pernah ku berfikir kenapa angin itu suka menggodaku untuk menari, klorofil mungkin itu penyebabnya. Dia adalah bagian kecil dari tubuh “daun”ku ini, ia membuat tubuhku menjadi hijau segar dan menarik dipandang¹. Lelah, tidak mungkin. Aku tidak pernah lelah menari untuk angin karena dengan bergerak-menarinya aku, cahaya matahari akan semakin mudah masuk ke dalah tubuhku lewat stomata,bagian tubuhku yang berfungsi seperti mulut manusia. Makan dan bernafas². Bedanya, stomataku ini tidak bisa digunakan untuk sekedar berbicara apalagi menggunjing orang lain. Setelah stomataku menangkap cahaya matahari dan karbon dioksida klorofilku memprosesnya hingga berubah menjadi karbohidrat dan oksigen manusia menyebutnya fotosintesis3. Karbohidrat membuatku dan rumahku tumbuh besar, namun oksigen yang kuhasilkan kutebarkan untuk dikonsumsi manusia-manusia “suram” itu. Ah, enak benar manusia-manusia itu tinggal menghirup oksigen dari tubuh “daun”ku dan seenaknya membuang karbon dioksida ditambah asap-asap tidak jelas dari benda yang mereka buat sendiri. Untungnya tubuh “daun”ku ini cukup besar, lebar dan kuat untuk menampung karbon dioksida dan asap-asap tidak jelas itu. Sepanjang musim hujan bersemi ini, bukan hanya angin yang menemaniku setiap hari, hujan juga menemaniku diatas sini. Menari dan membentuk alunan musik hujan bersemi.
Kali ini, seusai pesta hujan bersemi bersama angin dan hujanku. Seonggok bunga berwarna merah muncul dari sela-sela ranting pohon (rumah)ku. Warnanya yang memekakkan mata mangalahkan hijau segar tubuh “daun”ku. Pohon (rumah)ku yang melihat itu menjadikan tubuh “daun”ku menutupi seonggok bunga kecil merah itu. Sedikit benci, namun apa daya. Aku hanya menumpang di pohon(rumahku) ini. Aku hanya bisa pasrah. Angin yang terus merayuku untuk menari bersamanya hanya bisa kutinggal meringkuk ke arah bunga itu. Diam dan diam.
Hingga tiba saatnya ketika seonggok bunga itu menjadi sang bunga yang cantik dan menawan mahkota, merahnya membesar dan benangsari yang ada diatasnya juga merekah. Seonggok bunga yang sekarang menjadi sang bunga mendesakku agar tak melindunginya lagi, ia mendorongku dengan ego kesombongannya. Gerakan merekahnya seperti mengatakan “Aku tak butuh lindunganmu lagi”.
Gara-gara seonggok bunga itu, tubuh “daun”ku yang sudah lama diam meringkuk dan tidak melakukan apa-apa, apalagi sekedar ber-fotosintesis kali ini mengecil, coklat dan rapuh. Dan yang aku dan seluruh daun di muka bumi ini takutkan.Gugur.
Aku yang sudah tidak berguna lagi di singkirkan oleh pohon(rumah)ku ini. Angin membawaku ke dasar tanah dengan tenang. Ku lihat sang bunga yang dari kemarin kulindungi menari-nari dengan “bunga” dan “daun”lainnya. Untung saja anginku tak mengajak sang bunga menari bersamanya, aku merasa angin lebih senang dan setia denganku tentunya untuk menari bersama.
Dibawah pohon(rumah)ku. Sang bunga yang tadinya kulidungi terlihat sangat senang selepas kepergianku. Entah apa yang ia pikirkan. Sekedar “terimakasih” harusnya bisa keluar dari mulut bunga cantiknya itu bukan. Mengharap hal yang tidak-tidak malah membuat tubuh ”daun”ku ini kesakitan. Angin, hal pertama kupikirkan saat sepiku di bawah sini. Bawalah aku kembali ke atas sana. Bagaimana caranya? Dia tak berwujud dan bersuara. Ah.
Lagi, di bawah pohon yang masih aku anggap rumahku. Ku coba berteriak pada angin, meminta bantuannya. Percuma, stomataku sudah kering. Dan aku bisu.
Semenjak semua kejadian pengusahaanku itu, aku termenung di bawah pohon(rumah)ku dengan memperhatikan sang bunga yang sedang menari-nari dengan bunga lain. Sang bunga yang terlalu senang menempelkan benangsari pada putik bunga lain. Seharusnya sang bunga sudah tahu bahwa hal itu (penyerbukan) akan membuatnya menjadi buah. Bodoh. Dan seharusnya dia juga tahu bahwa seiring berubahnya ia menjadi buah, ia akan bertambah gemuk dan menarik perhatian burung gereja yang biasa ber gerombol di dahan pohon(rumah)ku itu. Aku merasa menang.
Tatkala tiba waktunya sang bunga itu berubah menjadi buah, benar saja burung-burung gereja yang dari kemarin memperhatikan sang bunga itu mendekat dan mencoba memakan tubuh sang bunga-buah itu. Dia akan mati. Burung gereja kelaparan mendekat dan mendekat kepada sang bunga itu.
Sang bunga yang ketakutan mencoba menggerak-gerakkan tubuh ‘buah”nya itu. Tiba-tiba sang angin datang dan mematahkan ranting pengubung antara sang bunga dan dahan pohon(rumah)ku itu. Angin? Kenapa kau baru muncul. Sang bunga yang masih ketakutan karena akan dimakan burung-burung gereja di bawa angin ke bawah, tepat di sebelahku. Mimpi buruk.
Sang bunga-buah yang ada disampingku merengek, ia ingin kembali ke atas sana. Ia terus merengek hingga ia tidak menyadari perubahan warna dan bau tubuhnya. Sang bunga yang awalnya berwarna merah sekarang kuning pasi dan busuk. Aku saja jijik berada di sebelahnya. Sayang aku tak bisa bicara.
Angin. Terakhir ku merasakan angin hanya saat tragedi burung gereja itu. Ia langsung menghilang begitu saja setelah menolong sang bunga-buah itu. Aku rindu akan belaian dan bujukkan halus angin itu. Dimana kau angin?
Hingga disaat aku tak mendengar rengekan sang bunga-buah cantik dan menawan, kusadari satu hal. Ia telah berubah menjadi tanah humus yang menumbuhkan tanaman baru. Aku yang melihatnya merasa heran, bagaimana sang bunga-buah tiba-tiba berbesar hati merelakan tubuhnya ditelan begitu saja oleh tanah. Dan ketika ku rasakan angin, kesakit dan rengakan sang bunga-buah terasa di setiap sisa-sisa ranting yang masih menempel di tubuh “daun” rentaku. Tiada kesempuraan apalagi keabadian di dunia fana ini.
Untuk Daun,
Terimakasih atas lindunganmu selama ini. Aku mungkin belum sempat mengucapkannya langsung ke padamu. Aku juga bisu sama sepertimu. Angin yang hanya bisa menyampaikan pesan kecil ini padamu. Maaf karena ke egoanku. Kalau boleh menyalahkan. Salahkan pohon yang kau anggap rumahmu itu. Ia mendesakku agar segera menjadi buah dan menumbuhkan pohon baru yang lebih indah. Taukah kau bahwa pohon(rumah)mu itu sudah bertanda merah. Dan taukah kau tanda merah itu?. Itu adalah tanda bahwa pohon(rumah)mu itu akan berubah menjadi kursi dan meja untuk manusia di seberang sana. Kita beruntung tidak merasakan pahitnya ditebang. Butuh pengorbanan kan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Bunga